Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya
berasal dari Cyberspace Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu
merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet.
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan,
Pemerasan.
Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan,
Berita kebencian dan permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan
Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa
Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan
Informasi.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan
cyber law ini yang terkait dengan terotori. Misalkan, seorang cracker dari
sebuah Negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia.
Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas
crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang
bersangkutan. Yang dapat dilakukan adalah menangkap cracker ini jika dia
mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan/ hak untuk
mengunjungi sebuah tempat di dunia.
Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.
Cyber
Law Negara Singapore:
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik si Singapore. ETA dibuat dengan tujuan:
Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik si Singapore. ETA dibuat dengan tujuan:
Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan
dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari
undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan
menjamin/mengamankan perdagangan elektronik.
Memudahkan penyimpanan secara elektronik
tentang dokumen pemerintah dan perusahaan.
Meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang
sama, perubahan yang tidak sengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan
dalam perdagangan elektronik, dll.
Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan
dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik.
Mempromosikan kepercayaan, inregritas dan
keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik dan untuk membantu
perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan
tanda tangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat
menyurat yang menggunakan media elektronik.
Cyber
Law Negara Vietnam:
Cybercrime, penggunaan nama domain dan kontrak elektronik di Vietnam sudah ditetapkan oleh Pemerintah Vietnam, sedangkan untuk masalah perlindungan konsumen privasi, spam, muatan online, digital copyright dan online dispute resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Di Negara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah keberadaannya, hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang mengatur masalah cyber, apdahal masalah seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting keberadaanya bagi masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.
Cybercrime, penggunaan nama domain dan kontrak elektronik di Vietnam sudah ditetapkan oleh Pemerintah Vietnam, sedangkan untuk masalah perlindungan konsumen privasi, spam, muatan online, digital copyright dan online dispute resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Di Negara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah keberadaannya, hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang mengatur masalah cyber, apdahal masalah seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting keberadaanya bagi masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.
Cyber
Law Negara Thailand:
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand sudah sitetapkan oleh pemerintahnya, walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti spam, privasi, digital copyright dan ODR sudah dalam tahap rancangan.
Cyber Law Negara Amerika Serikat:
Di Amerika, cyberlaw yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL).
Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum Negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak.
Dari 5 negara yang telah disebutkan diatas, Negara yang memiliki cyberlaw paling banyak untuk saat ini adalah Indonesia, tetapi yang memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya adalah Malaysia karena walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya sudah dalam tahap perencanaan. Sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap perencanaan. Untuk Thailand dan Vietnam, Vietnam masih lebih unggul dalam penanganan cyberlaw karena untuk saat ini terdapat 3 hukum yang sudah ditetapkan, tetapi di Thailand saat ini hanya terdapat 2 hukum yang ditetapkan tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat ini masih dalam taham perancangan.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand sudah sitetapkan oleh pemerintahnya, walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti spam, privasi, digital copyright dan ODR sudah dalam tahap rancangan.
Cyber Law Negara Amerika Serikat:
Di Amerika, cyberlaw yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL).
Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum Negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak.
Dari 5 negara yang telah disebutkan diatas, Negara yang memiliki cyberlaw paling banyak untuk saat ini adalah Indonesia, tetapi yang memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya adalah Malaysia karena walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya sudah dalam tahap perencanaan. Sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap perencanaan. Untuk Thailand dan Vietnam, Vietnam masih lebih unggul dalam penanganan cyberlaw karena untuk saat ini terdapat 3 hukum yang sudah ditetapkan, tetapi di Thailand saat ini hanya terdapat 2 hukum yang ditetapkan tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat ini masih dalam taham perancangan.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
Bahwa masyarakat internasional menyadari
perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber
dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan
pengembangan teknologi informasi.
Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam
penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan
kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses
penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui
suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan
untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak
azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi
Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan
sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak
berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan
informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh masyarakat
Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh Negara manapun di dunia.
Hal ini dimaksudkan untuk diajdikan norma dan instrument Hukum Internasional
dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu
untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi
informasi.
Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on Cybercrime
Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on Cybercrime
Cyber Law: merupakan seperangkat aturan yang
dibuat oleh suatu Negara tertentu dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku
kepada masyarakat Negara tertentu.
Computer Crime Act (CCA): merupakan
undang-undang penyalahgunaan informasi teknologi di Malaysia.
Council of Europe Convention on Cybercrime:
merupakan organisasi yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan
di dunia internasional. Organisasi ini dapat memantau semua pelanggaran yang
ada di seluruh dunia.
Implikasi
pemberlakuan RUU ITE
Teknologi
informasi dan komunikasi adalah peralatan sosial yang penuh daya, yang dapat
membantu atau mengganggu masyarakat dalam banyak cara. Semua tergantung pada
cara penggunaannya, perkembanagan dunia cyber atau dunia teknologi informasi
dan kumunikasi telah menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara
signifikan berlangsung cepat, perubahan peradaban manusia secara global, dan
menjadikan dunia ini menjadi tanpa batas, tidak terbatas oleh garis teritotial
suatu negara.
Kehidupan
masayarakat modern yang serba cepat menjadikan pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi menjadi sesuatu harga mutlak, menjadi sesuatu kebutuhan primer
yang setiap orang harus terlibat didalamnya kalau tidak mau keluar dari
pergaulan masyarakat dunia, tetapi pemanfa’aatn teknologi informasi dan
komunikasi ini tidak selamanya dimanfa’atkan untuk kesejahtraan, kemajuan dan
peradaban manusia saja di sisi lain teknologi informasi dan komunikasi ini
menjadi suatu senjata ampuh untuk melakukan tindakan kejahatan, seperti
marakanya proses prostiutsi, perjudian di dunia maya (internet), pembobolan ATM
lewat internet dan pencurian data-data perusahan lewat internet, kesemuanya termasuk
kedalam penyalahgunaan teknologi informasi dan kumunikasi, atau lebih tepatnya
kejahatan penyalahgunaan transaksi elektronik. Itulah alasannya pemertintah
indonesia menggesahkan UU ITE(Informasi dan Informasi elektronik) untuk
mengatur penggunaan teknologi informasi secara luas dan tearah, demi
terciptanya masyrakat elektronik yang selalu menerapkan moral dan etika dalam
seluruh aspek kehidupanya.
Manfaat
pelaksanaan UU ITE:
1.
Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat
perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi ekonomi
digital dan kesempatan untuk menjadi penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan
Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2.
E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan potensi
pariwisata indonesia dengan mempermudah layanan menggunakan ICT.
3.
Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.
Masyarakat harus memaksimalkan potensi akses internet indonesia dengan konten
sehat dan sesuai konteks budaya indonesia
4.
Produk ekspor indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan produk negara
kompetitor. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi kreatif bangsa untuk
bersaing dengan bangsa lain
Efektifitas
UU ITE Terhadap Tekonologi Informasi
Bila
dilihat dari content UU ITE, semua hal penting sudah diakomodir dan diatur
dalam UU tersebut. UU ITE sudah cukup komprehensif mengatur informasi
elektronik dan transaksi elektronik. Mari kita lihat beberapa cakupan materi UU
ITE yang merupakan terobosan baru. UU ITE yang mana mengakui Tanda Tangan
Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional
(tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti
lainnya yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia; penyelesaian sengketa
juga dapat diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau
arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana UU ITE, sehingga UU ini dapat berjalan dengan efektif.
Dampak
UU ITE bagi Kegiatan Transaksi Elektronik
UU
ITE yang disahkan DPR pada 25 Maret lalu menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi
ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace
law. Menurut data Inspektorat Jenderal Depkominfo, sebelum pengesahan UU ITE,
Indonesia ada di jajaran terbawah negara yang tak punya aturan soal cyberspace
law. Posisi negeri ini sama dengan Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika
Selatan.
Tentu
saja posisi itu jauh berada di belakang negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat. Bahkan beberapa negara berkembang lainnya, seperti India, Sri Lanka,
Bangladesh, dan Singapura, mendahului Indonesia membuat cyberspace law. Tak
mengherankan jika Indonesia sempat menjadi surga bagi kejahatan pembobolan
kartu kredit (carding).
Pengaruh
UU ITE
Sekarang
kita tahu maraknya carding atau pencurian kartu kredit di internet berasal dari
Indonesia, hal ini memungkinan Indonesia dipercaya oleh komunitas ”trust”
internasional menjadi sangat kecil sekali. Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan
bisa mengurangi terjadinya praktik carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE
ini, para pengguna kartu kredit di internet dari negara kita tidak akan
di-black list oleh toko-toko online luar negeri. Sebab situs-situs seperti
www.amazon.com selama ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang
diterbitkan Indonesia, karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law.
Nah, dengan adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini, negara lain
menjadi lebih percaya atau trust kepada kita.
Dalam
Bab VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal 27-37, semua Pasal
menggunakan kalimat, ”Setiap orang… dan lain-lain.” Padahal perbuatan yang
dilarang seperti: spam, penipuan, cracking, virus, flooding, sebagian besar
akan dilakukan oleh mesin olah program, bukan langsung oleh manusia. Banyak
yang menganggap ini sebagai suatu kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu
kelemahan. Sebab di belakang mesin olah program yang menyebarkan spam,
penipuan, cracking, virus, flooding atau tindakan merusak lainnya tetap ada
manusianya, the man behind the machine. Jadi kita tak mungkin menghukum
mesinnya, tapi orang di belakang mesinnya.
Beberapa
Hal Mendasar Yang Berubah Pada Masayarakat
Sejauh
ini, adanya UU ITE setidaknya merubah cara masyrakat dalam melakukan transaksi
elektronik, diantaranya:
Pengaksesan
Situs Porno/Kekerasan/Narkoba
Transaksi
yang diperkuat dengan Tanda tangan Elektronik
Penyampaian
pendapat dalam dunia maya
Penyebaran
file/konten berbahaya (Virus,Spam dll.)
Pengajuan
HAKI terhadap informasi/dokumen elektronik, demi keterjaminan hak.
Blog/Tulisan
mengandung isi berbau SARA
Pengaksesan
Illegal, serta pemakaian software illegal
Sedikit
ulasan dari point diatas, mengacu pada pasal 27-37, hanya akan ditangkap ”Orang
Yang Menyebar Virus.” Tapi tampaknya bukan pembuat virus. Logikanya sederhana,
virus tak akan merusak sistem komputer atau sistem elektonik, jika tidak
disebarkan melalui sistem elektronik. Artinya, bahwa jika sampai virus itu
disebarkan, maka si penyebar virus itu yang akan dikenakan delik pidana. Tentu
hal ini harus dibuktikan di pengadilan bahwa si penyebar virus itu melakukan
dengan sengaja dan tanpa hak.
Keseriusan
Pemerintah dalam Menegakkan UU ITE
Sesuai
dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, kejahatan dunia
cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus. Itu meliputi spam,
penyalahgunaan jaringan teknologi informasi, open proxy (memanfaatkan kelemahan
jaringan), dan carding. Data dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI)
menunjukkan, sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan
kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun. Hal ini tentunya mencoreng nama
baik Negara, serta hilangnya kepercayaan dunia terhadap Indonesia.
Untuk
itulah pemerintah perlu serius menanganani Transaksi Elektronik yang sudah merambah
berbagai aspek kehidupan bernegara.
Langkah
Pemerintah dalam Menegakkan UU ITE
Setelah
diluncurkan UU ITE, untuk mencegah agar produk hukum ini tidak disalahgunakan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam memahami cakupan materi dan
dasar filosofis, yuridis serta sosiologis dari UU ITE ini, Departemen
Komunikasi dan Informatikan akan melakukan kegiatan diseminasi informasi kepada
seluruh masyarakat, baik lewat media, maupun kegiatan sosialisasi ke
daerah-daerah. Edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya dengan menkampanyekan internet sehat lewat media, membagikan
software untuk memfilter situs-situs bermuatan porno dan kekerasan.
Keterbatasan
Pemerintah Dalam Menangani UU ITE
Untuk
sekarang ini, kita belum bisa menilai apakah UU ITE ini ”kurang”. Kita butuh
waktu untuk melihat penegakannya nanti. Yang pasti, beberapa hal yang belum
secara spesifik diatur dalam UU ITE, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah,
juga peraturan perundang-undangan lainnya. Secara keseluruhan, UU ITE telah
menjawab permasalahan terkait dunia aktivitas/ transaksi di dunia maya, sebab
selama ini banyak orang ragu-ragu melakukan transaksi elektronik di dunia maya
karena khawatir belum dilindungi oleh hukum. Hal yang paling penting dalam
kegiatan transaksi elektronik, adalah diakuinya tanda tangan elektronik sebagai
alat bukti yang salah dalam proses hukum. Jadi seluruh pelaku transaksi
elektronik akan terlindungi.
Pada
Pasal 31 ayat (3) UU ITE mengatur lawful interception, tatacara Lawful
Interception akan diatur secara detil dalam Peraturan Pemerintah tentang Lawful
Interception. Intinya bahwa penegak hukum harus mengajukan permintaan
penyadapan kepada operator telekomunikasi, atau internet service provider yang
diduga menjadi sarana komunikasi dalam tindak kejahatan. Jadi permintaan
intersepsi tidak dilakukan kepada Depkominfo.
Sosialisasi
UU ITE pada Masyarakat
Menteri
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Mohammad Nuh mengatakan, saat ini masih
terjadi kesalahpahaman dari masyarakat bahwa Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik sekadar untuk blocking situs porno, padahal substansinya
melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik yang menggunakan
komputer.Sehingga pihaknya terus berupaya melakukan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE.
Tanggapan
Masyarakat Terhadap UU ITE
Secara
umum masyarakat memandang UU ITE hanya sebagai formalitas sesaat, yang mana
peraturan dan perundang-undang yang disusun, hanya berlaku jika ada kasus yang
mencuat.
Dalam
kehidupan sehari-hari baik masyarakat umum ataupun kaum terpelajar tidak
sepenuhnya mematuhi atau mengindahkan UU ITE ini, terbukti dengan masih
tingginya tingkat pelanggaran cyber, penipuan, ataupun pengaksessan situs
porno.
“Kasus
`cyber crime` di Indonesia adalah nomor satu di dunia,” kata Brigjen Anton
Taba, Staf Ahli Kapolri, dalam acara peluncuran buku Panduan Bantuan Hukum
Indonesia (PBHI) di Jakarta
Kesimpulan
Dari
hasil studi lapangan “Pengaruh Penerapan UU ITE terhadap Kegiatan Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Komunikasi” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.
Pada 25 Maret 2008, DPR telah mengesahkan rancangan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Pengesahan ini merupakan sesuatu yang
menggembirakan dan telah ditunggu-tunggu oleh banyak pihak untuk keluar dari
pengucilan dunia internasional. Sayangnya, masyarakat terlalu terfokus pada
larangan atas pornografi internet dalam UU ITE sehingga melupakan esensi dari
UU ITE itu sendiri. Sebagai sebuah produk hukum, UU ITE merupakan suatu langkah
yang amat berani dengan memperkenalkan beberapa konsep hukum baru yang selama
ini kerap menimbulkan polemik.
2.
Dampak UU ITE :
a.Dampak
positif:
•
Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat
perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi ekonomi
digital dan kesempatan untuk menjadi penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan
Lembaga Sertifikasi Keandalan.
•
E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan potensi
pariwisata indonesia dengan mempermudah layanan menggunakan ICT.
•
Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.
Masyarakat harus memaksimalkan potensi akses internet indonesia dengan konten
sehat dan sesuai konteks budaya indonesia
•
Produk ekspor indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan produk negara
kompetitor. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi kreatif bangsa untuk
bersaing dengan bangsa lain.
b.Dampak
negatif:
•
Isi sebuah situs tidak boleh ada muatan yang melanggar kesusilaan. Kesusilaan
kan bersifat normatif. Mungkin situs yang menampilkan foto-foto porno secara
vulgar bisa jelas dianggap melanggar kesusilaan. Namun, apakah situs-situs
edukasi AIDS dan alat-alat kesehatan yang juga ditujukan untuk orang dewasa
dilarang? Lalu, apakah forum-forum komunitas gay atau lesbian yang (hampir)
tidak ada pornonya juga dianggap melanggar kesusilaan? Lalu, apakah foto
seorang masyarakat Papua bugil yang ditampilkan dalam sebuah blog juga dianggap
melanggar kesusilaan?
•
Kekhawatiran para penulis blog dalam mengungkapkan pendapat. Karena UU ini,
bisa jadi para blogger semakin berhati-hati agar tidak menyinggung orang lain,
menjelekkan produk atau merk tertentu, membuat tautan referensi atau membahas
situs-situs yang dianggap ilegal oleh UU, dll. Kalau ketakutan menjadi semakin
berlebihan, bukanlah malah semakin mengekang kebebasan berpendapat
•
Seperti biasa, yang lebih mengkhawatirkan bukan UU-nya, tapi lebih kepada
pelaksanaannya. Semoga saja UU ini tidak menjadi alat bagi aparat untuk
melakukan investigasi berlebihan sehingga menyentuh ranah pribadi. Karena seperti
Pak Nuh bilang, UU ini tidak akan menyentuh wilayah pribadi. Hanya menyentuh
wilayah yang bersifat publik. Itu kan kata Pak Nuh. Kata orang di bawahnya
(yang mungkin nggak mengerti konteks) bisa diinterpretasi macam-macam.
3.
Disamping banyak manfaat yang dirasakan namun masih banyak masyarakat yang
tidak mengetahui informasi tentang UU ini bahkan ada yang sama sekali tidak
peduli. Pemerintah harus lebih mengembangkan dan mensosialisasikan UU ITE agar
dipahami dan diterapkan oleh masyarakat.
Sumber :
http://mutiaramarini.blogspot.com/2014/04/perbedaan-cyber-law-computer-crime-act.html
http://muhammadabcdefahrizal.blogspot.com/2012/03/implikasi-pemberlakuan-ruu-ite_29.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar